Tenun Timor adalah brand Kain Tenun NTT yang Produksi, menjual Kain Tenun NTT, Kain Ikat,Souvenir khas NTT, khusus Kain Tenun Motif Buna Insana, Kain Tenun Motif Kubi, Kain Tenun Motif Sotis, Kain Ikat Motif Biboki

Kain Ikat NTT - Motif Buna

 Motif Buna


Share:

Tenun Timor Motif Insana dan Sotis

 Kain Tenun Timor Motif Insana

 Kain Tenun Timor Motif Insana


Share:

Tenun Timor - Motif Buna




 Tenun Timor Motif BUNA





 

 


 Kain Tenun Timor - Motif Insana Sotis dan Buna

Share:

Selendang Tenun Timor + Tais



SOLD - Selendag Motif Insana

Tais + Selendang , adalah sarung khusus untuk kaum wanita
Share:

KainTenun NTT- Motif Kain Tenun Timor

Motif Kain Tenun - NTT - Kain Tenun Ikat Indonesia - Rp. 400.000

  Ragam hias kain Tenun NTT - hanya Rp. 400.000


Motif Kain Tenun 1
 
Motif Kain Tenun 2 - SOLD

  Motif Kain Tenun 3 

Motif Kain Tenun 4 - SOLD


Motif Kain Tenun 5 - SOLD

Motif Kain Tenun 6

 Motif Kain Tenun 7 

 
Motif Kain Tenun 8

 
Motif Kain Tenun 9

Motif Kain Tenun 10

 Motif Kain Tenun 11

 Motif Kain Tenun 12

 Motif Kain Tenun 14  

  Motif Kain Tenun 15 
Share:

Selendang Tenun Timor

Selendang Tenun Timor Cantik warna Kuning Rp. 80.000 

Selendang Tenun Timor Cantik warna biru - Rp. 80.000 

Selendang Tenun Timor Cantik warna Hitam Bergaris Merah - Rp. 80.000 

Koleksi Selendang Tenun Timor - Rp. 80.000 



Share:

Kain Tenun NTT Bukan Tenunan Biasa

Kerajinan tenun Nusa Tenggara Timur merupakan aset budaya luar biasa. Selain beragam motifnya, proses pembuatannya pun tak sembarangan, yaitu melalui proses ritual (doa sakral). Kain tenun Timor - NTT bukan sekadar kain biasa, melainkan juga memiliki jiwa.
Ketika melewati kampung tua As Manulea di Kecamatan Sasita Mean, Kabupaten Belu, NTT, misalnya, tim Kami bertemu dengan para perajin yang membuat kain tenun dari benang yang mereka pintal sendiri.
Pada era 1990-an, kegiatan memintal masih terlihat di mana-mana, terutama saat para wanita pergi-pulang dari pasar. Sambil berjalan kaki, dengan junjungan di kepala, mereka memintal benang dari kapas. Kini, kegiatan memintal benang seperti itu sudah langka ditemui di NTT karena tergusur benang industri.

Perempuan As Manulea itu, Lenci Abuk (38), tekun memintal benang dari abas (kapas lokal). Di samping dia, Natalia Kole (52), bersama seorang wanita sebaya dibantu seorang pria, membenahi seperangkat alat tenun kuno yang disebut bninsa.

Menurut Rosalina Lotu, seorang penenun, tais atau bête (selendang untuk pria) dari benang lokal harganya mahal, paling murah Rp 5 juta per lembar. ”Saya menanam kapas di pekarangan. Hasilnya sangat terbatas. Kalau menenun dengan benang dari kebun sendiri, harus menunggu bertahun-tahun hingga cukup untuk selembar kain,” katanya.

Di Ende, ada jenis kain tenun yang tidak bisa sembarangan dipakai. Kain itu hanya dibuat oleh kalangan tertentu, seperti keluarga tetua adat (mosalaki). Menurut Kepala Museum Tenun Ikat di Ende, Ali Abubakar Pae, pembuatan kain tenun ini umumnya dilakukan secara rahasia dan disertai ritual khusus.
”Umumnya masyarakat Ende di pesisir selatan memanjatkan doa khusus itu pada malam hari di dalam rumah,” kata Ali.
Ali mengibaratkan menenun seperti membuat keris di Jawa. Kekuatan supranatural dari roh-roh leluhur akan menjiwai kain tenun.
Ada ungkapan dalam bahasa Sikka, Ami nulung lobe. Naha utang wawa buku ubeng. Naha utang merah blanu, blekot (Kami tidak memakai sarung murahan, harus sarung dari dasar tempat simpan, harus sarung yang merah, mantap, dan bermutu).
Ungkapan itu mengandung pengertian, sarung yang dikenakan seorang perempuan menunjukkan kepribadian pemakainya. Sarung yang dipakai bukan sarung biasa. Ini menunjukkan pemakainya bukan sembarangan, melainkan orang berwibawa, bermutu, dan berkepribadian baik.

Selain prosesnya panjang dan rumit, motif tenun NTT unik dan beragam. Hampir semua daerah di NTT memiliki kerajinan tenun. Johanna Maria Pattinaja (73), istri almarhum Frans Seda, telah mengumpulkan sekitar 1.000 kain tenun ikat NTT, dari Pulau Timor, Sumba, sampai Flores.

Penelitian Romo Bosco Terwinju Pr (72) dari Keuskupan Agung Ende memperkuat hal itu. Untuk satu wilayah di Pulau Flores misalnya Sikka, ia mengoleksi sekitar 50 jenis kain tenun ikat. ”Motif kain tenun di NTT sangat banyak, berbeda-beda antarkabupaten,” katanya.
Hasil penelitian Romo Bosco di Pulau Flores, ada dua kategori tenun, jenis ikat tradisional dan sulam songket. Tenun ikat menyebar dari Flores bagian tengah, dari Kabupaten Ende hingga Kabupaten Flores Timur sampai Lembata. Adapun tenun sulam songket banyak dibuat dari Kabupaten Nagekeo sampai Kabupaten Manggarai Barat.

Warna kain tenun ikat dihasilkan dari pewarnaan kain, baik dengan bahan alam (mengkudu atau nila) maupun bahan kimia. Warna kain tenun sulam dihasilkan dari proses penyulaman benang beraneka warna.
Menurut Romo Bosco, motif kain tenun di Flores berdasarkan catatan sejarah merupakan turunan dari motif Patola, India, seperti gajah, bunga atau burung, yang kemudian berkembang dengan beragam variasi.

Tenun Kali Uda
Salah satu tenun NTT yang terkenal berasal dari Kali Uda di Pulau Sumba. Desa ini terletak 120 kilometer selatan Waingapu, Sumba Timur. Kualitas tenunan Kali Uda dianggap tertinggi karena lentur, tidak luntur, ringan, dan dapat dibuat menjadi pakaian.

Warna dasar tenun Kali Uda adalah merah, putih, dan hitam. Ragam motif biasanya ayam, burung, kuda, kerbau, sapi, serta mamuli (perhiasan berbentuk rahim perempuan).
Selain menjadi mahar kawin yang bernilai tinggi di kalangan warga Sumba, tenun ikat Kali Uda diminati turis asing. Bahkan di Denpasar, Bali, ada toko khusus yang menjual tenun Kali Uda. ”Meski harganya mahal, turis Jepang belanja sampai ratusan lembar,” kata Jery Nola (29), seorang pria perajin.

Harga selembar kain Tenun Kali Uda berukuran 1,7 meter x 2,3 meter Rp 800.000-Rp 25 juta per lembar, tergantung motif, tingkat kesulitan menenun, pewarna, dan kualitas benang.
Sayangnya, menurut Kepala Desa Kali Uda, Umbu Yiwa Hanggi, belum ada organisasi yang memayungi tenun ikat Kali Uda. Padahal, 90 persen warga Kali Uda adalah penenun.
Perkembangan tenun NTT menghadapi tantangan yang tidak ringan. Desakan ekonomi yang semakin berat memaksa penenun meninggalkannya.

Di Kali Uda, misalnya, sampai hari ini belum ada pemasaran yang masif atas hasil kerajinan masyarakat itu. Gagal panen dan kemarau panjang yang sering melanda pantai selatan Sumba Timur memperberat kondisi mereka. Kalau dulu, hasil panen bisa mengisi kekosongan pendapatan mereka; kini, pertanian tidak bisa lagi diandalkan.
”Tahun 2007 masyarakat pernah menyampaikan aspirasi melalui musyawarah rencana pembangunan desa agar dibangunkan sebuah pusat kerajinan tenun ikat di sini. Kemudian, hasil kerajinan masyarakat ditampung Dinas Perindustrian dan Perdagangan untuk dipasarkan ke luar Sumba. Tapi, belum ada tanggapan,” kata Umbu Yiwa.
Sejauh ini jajaran pegawai negeri sipil di NTT diwajibkan memakai baju tenun Timor dua kali dalam seminggu, setiap Rabu dan Jumat. Kalangan penenun termasuk pemilik sentra kerajinan tenun daerah Ina Ndao, Dorce Lussi, di Kupang mengharapkan kebijakan wajib berpakaian tenun jadi empat kali seminggu. Dengan demikian, pasar tenun ikat NTT semakin terbuka.
Share:

Aksesori dari Tenun Ikat NTT

Mengenalkan dan melestarikan tenun ikat bernilai tradisi bisa dilakukan dengan banyak cara. Misalnya, mengaplikasikan kain tenun ikat ragam motif dan warna dari berbagai daerah di Nusa Tenggara Timur sebagai aksesori.

Utamanya, kain tenun ikat NTT berupa kain selimut, sarung, atau selendang. Namun kain tenun ikat NTT dengan bahan lebih tipis juga bisa digunakan untuk membuat pakaian siap pakai seperti jas atau blazer. Kain tenun ikat NTT juga diolah menjadi ragam model dan fungsi aksesori. Sebut saja dompet untuk perempuan dan laki-laki, tas wanita, tempat pensil, dompet koin, wadah kacamata, wadah majalah, hingga detail pita yang mempercantik bandana untuk anak-anak.

Berbagai toko suvenir dan kain tenun Timor di Kupang, NTT, memamerkan ragam model aplikasi tenun ikat ini. Selain mempromosikan kain tenun khas dari daerah Timor ini, aplikasi tenun ikat pada aksesori juga punya nilai fungsi.

Lidia, pemilik toko suvenir di selatan kota Kupang, mengatakan terdapat ragam motif kain tenun ikat yang populer di NTT. Toko yang berjarak sekitar 20 menit dari bandar udara El Tari Kupang, ini menyebutkan sejumlah motif yang mengacu pada nama daerah. Seperti motif
Sumba, Manggarai, Biboki, Insana kefamenanu ,Rote, Sabu, Alor, Timur Amarasi, Ende, Maumere, Kupang, Lembata, dan Larantuka.

"Kebanyakan warna hitam, dan yang membedakan satu kain tenun ikat dengan lainnya adalah motifnya. Motif Sumba misalnya, cenderung memiliki gambar binatang. Motif Sumba biasanya paling mahal dibandingkan motif lainnya.
Motif tenun ikat di NTT, kata Lidia, juga menentukan tingkat sosial. Pada daerah tertentu, motif tenun ikat tidak boleh dipasarkan karena motif tersebut milik para raja. Nah, motif yang eksklusif ini tidak boleh dijahit menjadi baju atau aksesori lainnya. Sementara motif tetun ikat milik rakyat bebas diperjualbelikan, dan dijahit untuk pakaian serta aksesori lainnya.

Bahan dasar pembuatan kain tenun ikat NTT juga beragam. Perajin kain tenun yang tersebar di Kupang dan di berbagai daerah di NTT, menggunakan dua pilihan bahan: benang alami dari tanaman dan benang pabrikan. Benang alami, misalnya dari akar mengkudu yang digunakan perajin di Lembata, biasanya menggunakan pewarna alami dan cenderung gelap. Sedangkan benang pabrikan umumnya lebih terang. Tekstur kain tenun dari benang alam juga biasanya lebih tebal dibandingkan benang pabrikan. Perbedaan cara pembuatan ini memengaruhi harga. Biasanya, kain tenun ikat dari bahan alam harganya lebih tinggi.

Untuk selendang dari tenun ikat benang alam biasanya dibanderol Rp 150.000 - Rp 200.000, tergantung tingkat kerumitan dan asal daerah. Sementara tenun ikat dari benang toko atau pabrikan, biasanya lebih murah, mulai Rp 25.000. "Motif binatang biasanya lebih mahal dari motif bunga pada tenun ikat," lanjut Lidia, menambahkan tenun ikat yang diaplikasikan dalam bentuk pakaian harga terendahnya dihargai Rp 215.000.

Kain tenun ikat, berupa selendang atau selimut, biasanya menjadi incaran wisatawan untuk membawa oleh-oleh dari NTT. Namun aksesori lain seperti taplak meja, hiasan dinding, dompet, atau benda fungsional lainnya juga menjadi buah tangan tak kalah populer dari kawasan timur Indonesia. Ragam model aksesori dari tenun ikat NTT dan Tenun Timor ini memanjakan mata, dan menggoda karena keunikan dan kekayaan motif yang terlihat semakin apik dalam aplikasi aksesori.
Share:

Kain Tenun Indonesia - Kain Tenun Timor - NTT

Kain Tenun Timor 

Share:

Trend Model Busana Muslin untuk Idul Fitri 2011


Tahun ini, dunia mode busana muslim tampil dengan 'wajah' yang lebih meriah. Kali ini tren mengacu pada model busana tumpuk dengan warna-warna ceria serta motif yang atraktif.

Salah satu desainer busana muslim yang terkenal dengan koleksi busana muslim pestanya 'Irna La Perle', Irna Mutiara, menegaskan bahwa busana muslim tak lagi tampil dengan palet lembut. Menurutnya tren busana muslim di tahun 2011 tampil lebih berani dengan warna-warna terang. yang sangat cocok di gunakan saat hari Idul Fitri 2011 nanti.

"Kalau dulu saya banyak mengenakan warna-warna soft, kali ini saya mencoba warna-warna yang berani sesuai dengan tren tahun ini," ujar Irna saat diwawancara oleh wolipop.

Pengaplikasian palet terang juga terlihat dalam pagelaran busana Islamic Fashion Festival (IFF) ke-13 yang diadakan pada 25-26 Juni Lalu. Misalnya saja karya Paul Ropp dari Bali yang menghadirkan konsep padu padan dan teknik tumpuk. Selain itu, Paul juga memamerkan delapan set busana yang hadir dalam warna-warna terang motif floral dan dipercantik dengan bordiran serta manik-manik di atas kain tenun dan sutera.

Brand busana muslim Shafira yang baru saja menggelar peragaan busana untuk koleksi terbarunya yang bertajuk 'Beyond Border', juga menawarkan rangkaian koleksi penuh warna. Mulai dari warna fuschia, ungu, kuning, oranye hingga hijau. Semua tertuang di atas kain tenun Nusa Tenggara Timur (NTT).

untuk mendapatkan bahan dan kain tenun timor dengan aneka warna terang anda patut berkunjung ke salah satu toko online Tenun Timor yaitu www.tenuntimor.com.

Dalam koleksi terbarunya, Shafira jarang menampilkan terusan gamis dan tunik. Brand yang sudah memiliki 22 showroom di berbagai kota di Indonesia ini memberikan pilihan alternatif misalnya saja blus longgar asimetris, jaket tenun, dan kerudung rajut.

Memadukan busana berwarna terang dengan kerudung atau aksesori yang juga terang sudah bukan hal yang tabu lagi. Menurut Irna, hal tersebut adalah hal yang sah dan wajar. "Sekarang mau pakai kerudung warna merah, baju warna biru dan tas warna hijau, sudah tidak masalah. Sah-sah saja," terang wanita yang gemar mengenakan jilbab model tumpuk ini.

Menggunakan busana tabrak warna memang tak semudah yang dikira. Salah padu padan bisa membuat Anda tampak berlebihan. Ada beberapa peraturan yang perlu diketahui agar penampilan tetap proporsional dan bergaya.
Share:

Yayasan Tafean Pah – supporting weavers in West Timor by Ibu Yovita Meta and Ruth Hadlow

News of a valuable new initiative from West Timor that deserves our support:
The weaving traditions in West Timor are very diverse and very beautiful, consisting of hand-made cloth woven on back-strap looms, sometimes still using handspun thread and natural plant dyes. The textiles are woven by village women amongst other activities such as growing crops, caring for livestock, social, domestic and family duties. Weaving skills are passed down from one generation to the next, with most women learning from their mothers, aunties or grandmothers. Traditional hand-woven textiles are still used as garments by many West Timorese for formal and ceremonial occasions, and textiles are still required as tribute for funerals, as part of the bride-wealth exchange in marriage agreements, and for other adat (traditional customary law) ceremonies. Despite this, the weaving traditions are fragile and vulnerable to changes in contemporary life, as the younger generations move away from villages, or become less interested in traditional textiles and the time-consuming techniques of hand-weaving.

Background & Context

West Timor is the western half of the island of Timor, which was colonized and divided by the Dutch and Portugese during the colonial period. West Timor became part of the Republic of Indonesia when it was formed in 1945 as a reaction to Dutch colonial rule. Within Indonesia, the eastern islands (West Timor, Sumba, Flores, Alor, Rote and Savu) are the poorest part of this developing country. The islands of East Nusa Tenggara, or NTT as it is called locally, are much drier and less fertile than those of western Indonesia, and very similar to northern Australia in their climate, geology and vegetation. The island of Timor is predominantly limestone, and does not have the rich volcanic soils of Bali or Java. It has a very long dry season, from April to late November, and is hot and extremely dry for most of the year. The latter part of the dry season is traditionally known as musim kelaparan, or the starvation season, as the only foods available for most villagers are the corn and cassava they have stored from the end of the harvest period. Life for most villagers is very tough and means of generating income are very limited. Many village children do not go beyond a primary school education as their families do not have the resources to support further study. Since the late 1990’s life has been increasingly difficult for the West Timorese, due to a series of factors such as the Indonesian Monetary Crisis in 1997, a rise in the cost of living of more than 500 per cent over the past 10 years, and the withdrawal of aid projects and organisations in the wake of East Timor’s independence in 1999. There is a general lack of knowledge about West Timor caused in part by the attention to East Timor in the news media, and this often makes it difficult for organisations to get external funding or support for their activities.

Yayasan Tafean Pah

Ibu Yovita Meta
Ibu Yovita MetaIbu Yovita Meta began the foundation Yayasan Tafean Pah in 1989, working with a small group of weavers from the dry and mountainous Biboki region of northern West Timor. YTP has grown substantially over the past 20 years; it now has a base in the northern town of Kefamenanu and 14 weaving cooperatives with a total of 700 members, spread over the Biboki, Insana and Miomafo regions of TTU (North Central Timor). Yayasan Tafean Pah supports the weaving cooperatives by providing access to thread and dyes, and training in weaving, dyeing and design skills. The foundation also provides cooperative management and basic accountancy training, and very importantly, provides an outlet and market for the beautiful hand-woven textiles which the weavers produce.
In 2003, Ibu Yovita won the prestigious Prince Claus Award for Culture and Development (awarded by the Netherlands government) for the work she has done with Yayasan Tafean Pah. The award was used to develop the Rumah Seni Tafean Pah in Kefamenanu, a cultural centre which includes the YTP office, a multi-functional work space, and a gallery/shop outlet for the textiles and associated products made by the weavers. In 2007, Yayasan Tafean Pah received a grant from the Dutch Embassy in Jakarta specifically for the purpose of creating a collection of traditional hand-woven Biboki textiles. This collection is intended as a permanent resource for the community, ensuring that examples of the techniques, motifs, designs and textile forms unique to Biboki hand-woven textiles are held in West Timor, rather than only in the collections of distant or foreign museums. The textiles which make up the collection were commissioned directly from weavers in the YTP cooperatives, supporting them financially and increasing their sense of pride in their work.
Textiles produced by the weaving cooperatives reflect the traditions which have existed for countless generations in these regions. Some of the weavers specialise in textiles made with hand-spun thread and dyed with traditional natural dyes, such as the rich reddish-brown Morinda Citrifolia, the deep blues of Indigofera Tinctora, and blacks from iron-rich mud. Other weavers use machine-spun thread to create lighter-weight textiles which can be made up into smaller items such as bags and clothing. YTP sells the textiles through its base of the Biboki Arts Centre in Kefamenanu, and through trade fairs and exhibitions in Jakarta and Singapore. With the support of the Museum and Art Gallery of the Northern Territory there have also been several exhibitions of Biboki textiles from Yayasan Tafean Pah in Darwin.
The aims of Yayasan Tafean Pah are to ensure that traditional weaving and dyeing skills are sustained, and to support village women to develop economically through their weaving skills. In a culture such as that of West Timor, a woman’s status and standing within a village community increases significantly when her weaving contributes to the family’s economy. One of the YTP cooperatives is comprised predominantly of widows, and most of these women have put their children through senior high school and university on income derived from their weaving activity. Due to the success of its existing cooperatives, YTP is continuously requested to take on new groups, some of which have little prior weaving or dyeing knowledge. Although this is a huge burden on the organisation, it also indicates the potential for a remarkable revival and continuation of skills and traditions.

Friends of Yayasan Tafean Pah

Yayasan Tafean Pah has no continuous funding and relies on sales of textiles to support its ongoing activities. Any new initiatives require external funding as the foundation survives on a day to day basis due to the unpredictable nature of selling textiles. Because of the difficulties of this situation we have decided to begin a support project called Friends of Yayasan Tafean Pah. Through an informal network of email lists we will regularly send out information about specific projects and activities which YTP wishes to seek funding for. A data base has been set up to record information about all donations and ensure transparency. Friends of Yayasan Tafean Pah has been created by Ibu Yovita Meta and Ruth Hadlow with the intention of helping YTP to source funding through Australian textile networks and other interested parties. Ruth Hadlow is an Australian artist who has been resident in West Timor since 2001. From 2005-2009, Ruth and her Timorese husband Willy Daos Kadati ran Babes in Timor/Mepu Mfe Fafi, a small aid project dedicated to supporting the West Timorese community through donations of piglets from Australian sponsors. Ruth Hadlow and Willy Daos Kadati run textile and cultural tours to West Timor and other parts of eastern Indonesia, and have had a close relationship with Yayasan Tafean Pah for a number of years.
If you would like to become a member of Friends of Yayasan Tafean Pah, you can contact us directly, or simply continue to receive our emails and respond as you wish to the various projects. If you have friends or family whom you think may be interested, please pass this information on to them. If you do not wish to receive emails from Friends of Yayasan Tafean Pah, please let us know and we will take your address out of the email list.

YTP project: Training Young Weavers

Yayasan Tafean Pah plans to begin a training program in the latter part of 2010, with the aim of training young women in weaving skills. There are 4 main weaving techniques used in the TTU region of West Timor: futus (warp ikat), sotis (float or pickup warp), buna and pa’uf (discontinuous supplementary weft techniques). Each of the techniques is slow and time-consuming, requiring patience and attention to detail. The majority of weavers in West Timor are older women, a matter for some concern as the weaving traditions could disappear within a couple of generations if younger women do not take up weaving. Due to the success of the existing YTP weaving cooperatives, it has become visible to the broader West Timorese community that woven textiles can provide a useful source of income. This provides a good incentive for encouraging young women to learn weaving skills as a realistic alternative to other types of income-generating work which require them to leave their villages.
Yayasan Tafean Pah intends to start the training program with groups of 10—15 young women who will be paired with experienced weavers, either in their village setting, or at the YTP Centre in Kefamenanu. The young women will begin by learning basic weaving skills, and also, if they choose, they can learn to hand-spin cotton with a drop spindle (a difficult process if you didn’t start at age 5, as some of you know!). If the young women already have some basic weaving skills, they will be trained in more complex techniques such as buna, pa’uf or sotis to increase their skill base.
The training will take the form of 5-day intensive programs, after which time the young weavers will be encouraged to continue their work independently, and the results will be assessed by YTP once the woven textiles are finished. If they require or request further training, they can undergo a second stage of training to increase their weaving skills, or begin producing textiles under the supervision of a YTP weaving cooperative. In the long term it is hoped that the young weavers might start new weaving cooperatives or join existing ones, as a means of developing and marketing their work.
In order to run the training program, funding is needed to cover the costs of transport, food, and wages for the weaving teachers, who will give up their own weaving time to train the young women. A wage also helps to acknowledge the skills and experience of the older weavers, encouraging the community to value and respect the women’s textile skills and perceive these as an important source of income. YTP is hoping to take on between 60-100 young women in the training program at the first stage, making this quite a large and ambitious project which is intended to have a major effect on the survival of the weaving traditions in the TTU region of West Timor.
If you are interested in supporting Yayasan Tafean Pah in this program of training young weavers, please use the form on the following page to make a donation.
We would like to thank you for your interest in the activities of Yayasan Tafean Pah. If you visit West Timor and can come as far as Kefamenanu, we would love to meet you and introduce you to some of the weavers you have generously supported.
Share:
free counters

BTemplates.com